Ambilkan bulan, bu
ambilkan bulan, bu
ambilkan bulan, bu
yang slalu bersinar di langit
Di langit bulan benderang
cah’yanya sampai ke bintang
cah’yanya sampai ke bintang
Ambilkan bulan, bu
untuk menerangi
tidurku yang lelap di malam gelap
untuk menerangi
tidurku yang lelap di malam gelap
####
Lagu yang merdu ya. Bahkan jadi
salah satu lagu favorit anak-anak dulu sekitar awal-awal tahun 2000-an
(termasuk saya). Tapi saya kurang tahu untuk saat ini apakah ini masih menjadi
lagu favorit anak. Sebenarnya saya juga miris, merasa kasihan dengan perkembangan
anak-anak saat ini. Telinga mereka sudah disuguhi dengan lagu-lagu orang dewasa
yanag sama sekali tidak pas dengan kondisi mereka. Selain karena krisis lagu
anak-anak, tetapi juga karena media massa seperti televise yang sangat jarang
sekali menyuguhi lagu dan acara anak-anak serta peran orang tua dalam
melindungi anak mereka pengaruh hal-hal budaya negative.
Setelah segede ini, saya jadi
kepikiran. Sadar gag sih dengan lagu itu. Ada yang janggal gag? Si anak bilang “ambilkan
bulan bu” diulang-ulang, seakan-akan tuh anak memaksa-maksa ibunya buat
ngambilin bulan. Si anak mikir gag sih kalo bulannya segede apa, bulan jaraknya
juga bukan dari Jogjakarta-Surabaya, tapi jauuh disana di luar angkasa. Haiiihh….
Kalau si anak maksa-maksa ibunya buat ngelakuin hal sehebat itu tiap malem,
durhaka enggag siih? Ckckckc..
Trus ada lagi, “cah’yanya sampai
ke bintang”. Haaa?? Gag kebalik tuh? Bukannya cahaya bintang sampai ke bulan? Trus
barulah sinar (sebagai sinar hasil pantulan) bulan sampai ke bumi. Apakah ini
menanamkan konsepsi yang salah? Padahal lagu ini begitu popular dikalangan
anak-anak. Iya kalau pada akhirnya mereka bisa sadar, lha kalau enggag?? Gimana
coba??
Huftt.. renungan buat saya
sendiri..