Rabu, 29 Agustus 2012

Mengapa Anda Seperti Ini??

Hawa panas kota Yogyakarta masih seperti biasanya. Masih dengan langit yang sama di kota yang sama. Terdiam dengan tatapan keluar jendela kaca mobil tapi tidak tahu apa yang menjadi fokus penglihatan saya. Rekan saya yang duduk disebelah juga hanya diam membisu. Sama-sama tidak memiliki bahan pembicaraan. Kali ini yang terdengar hanya deru mesin mobil. Perjalanan sudah berlalu dua puluh menit. Kita akan menuju bandara Internasional Adisucipto. Menjemput seorang rekan dari Pontianak.
Melaju melewati jalan-jalan protokol dengan kecepatan tinggi dan hanya sedikit menurunkan kecepatan karena padatnya arus lalu lintas. Sesekali mobil berhenti ketika lampu merah. Terkadang saya hanya berdecak sendiri, memperhatikan traffic light itu. Lampu merah menyala 100 detik tapi lampu hijau sebagai tanda bahwa kendaraan boleh melintas, hanya menyala sekitar 24 detik. Pantas saja kendaraan menumpuk dijalanan dan menimbulkan barisan panjang ketika lampu merah.
Untunglah didalam mobil tidak sepanas diluaran sana. Sekalipun panasnya bukan main, nampaknya tak menyurutkan semangat beberapa orang diluaran sana. Penjual koran dengan telaten menawarkan koran dagangannya pada setiap pengendara motor maupun mobil. Dengan penuh harapan akan ada yang membeli dagangannya itu. 
Tiba-tiba perhatian kami teralihkan ketika seorang banci (saya juga tidak tahu apakah dia waria juga atau tidak) datang menghampiri mobil kami sambil memainkan kecrekannya. Penampilannya nampak norak dengan kostum yang “tabrakan”. Tulang-tulang bahu dan iganya tampak terlihat jelas. Tubuhnya yang jangkung dan kurus tidak memberikan kesan banci tulen (maaf). Alisnya dipertegas dengan pensil coklat, eye shadow-nya berwarna ungu dengan sedikit blink-blink, polesan bluss on merah di pipinya dan lipstick merah tebal dibibirnya, riasan wajahnya menunjukkan seperti memaksakan kosmetik. (maklum). Banci itu memainkan kecrekennya sambil menyanyikan sebuah lagu. Saya tidak tahu lagu apa yang dia memainkan. Lirik dan nadanya kurang jelas. Baru sebentar saja dia menyanyikan “lagu”nya itu, pak sopir memberinya beberapa uang receh.
“lho, enak sekali dia. Baru menyanyikan lagu sebentar saja udah langsung dapet uang..” Saya mempertanyakan sikap pak sopir itu.
“bagi saya, orang seperti dia dan teman-temannya (yang sejenisnya) itu, orang yang paling sengasara didunia” jelas pak sopir.
“kok bisa pak?”
“lha gimana tidak? Mereka itu, laki-laki bukan, perempuan juga bukan. Tidak bisa menikmati hidup. Mereka mendekati laki-laki, merayu-rayu, tapi yang didekati malah merasa jijik. Mendekati wanita, yang didekati malah risih. Terus mau gimana lagi.”
Saya kembali diam. Iya ya. Kasihan juga. Bagimana dengan keluarga yang mereka tinggalkan. Mungkinkah kedua orang tua si “banci” tahu kalau dia berubaah menjadi seperti ini? Apakah dia tidak ingin menjalin hubungan normal sebagai manusia tulen dengan lawan jenisnya dan membangun rumah tangga? Sayangnya saya bukan orang yang bisa masuk kedalam pikirannya. Pengetahuan saya juga tidak banyak tentang mereka. Apapun yang terjadi pada diri mereka, entah karena merasa dia telah menemukan dirinya yang sejatinya adalah seperti itu atau karena ada hal lain yang memaksanya untuk menjadi seperti itu pastilah ada alasan yang kuat. Sekalipun saya juga tahu di Jogjakarta ada kompleks perkampungan/kelompok banci/waria yang sudah diakui. Mungkin itu cukup membantu (bagi mereka). Semoga cahaya bisa segera menerobos masuk kedalam hatinya dan mereka-mereka. (aamiin)
Hingga saya kembali tersadar bahwa kini traffic light sudah berubah menjadi hijau.