Hawa panas kota Yogyakarta
masih seperti biasanya. Masih dengan langit yang sama di kota yang sama.
Terdiam dengan tatapan keluar jendela kaca mobil tapi tidak tahu apa yang
menjadi fokus penglihatan saya. Rekan saya yang duduk disebelah juga hanya diam
membisu. Sama-sama tidak memiliki bahan pembicaraan. Kali ini yang terdengar
hanya deru mesin mobil. Perjalanan sudah berlalu dua puluh menit. Kita akan
menuju bandara Internasional Adisucipto. Menjemput seorang rekan dari Pontianak.
Melaju melewati
jalan-jalan protokol dengan kecepatan tinggi dan hanya sedikit menurunkan
kecepatan karena padatnya arus lalu lintas. Sesekali mobil berhenti ketika
lampu merah. Terkadang saya hanya berdecak sendiri, memperhatikan traffic light
itu. Lampu merah menyala 100 detik tapi lampu hijau sebagai tanda bahwa
kendaraan boleh melintas, hanya menyala sekitar 24 detik. Pantas saja kendaraan
menumpuk dijalanan dan menimbulkan barisan panjang ketika lampu merah.
Untunglah didalam
mobil tidak sepanas diluaran sana. Sekalipun panasnya bukan main, nampaknya tak
menyurutkan semangat beberapa orang diluaran sana. Penjual koran dengan telaten
menawarkan koran dagangannya pada setiap pengendara motor maupun mobil. Dengan
penuh harapan akan ada yang membeli dagangannya itu.
Tiba-tiba
perhatian kami teralihkan ketika seorang banci (saya juga tidak tahu apakah dia
waria juga atau tidak) datang menghampiri mobil kami sambil memainkan
kecrekannya. Penampilannya nampak norak dengan kostum yang “tabrakan”.
Tulang-tulang bahu dan iganya tampak terlihat jelas. Tubuhnya yang jangkung dan
kurus tidak memberikan kesan banci tulen (maaf). Alisnya dipertegas dengan
pensil coklat, eye shadow-nya
berwarna ungu dengan sedikit blink-blink,
polesan bluss on merah di pipinya dan
lipstick merah tebal dibibirnya, riasan wajahnya menunjukkan seperti memaksakan
kosmetik. (maklum). Banci itu memainkan kecrekennya sambil menyanyikan sebuah
lagu. Saya tidak tahu lagu apa yang dia memainkan. Lirik dan nadanya kurang
jelas. Baru sebentar saja dia menyanyikan “lagu”nya itu, pak sopir memberinya
beberapa uang receh.
“lho, enak sekali dia. Baru
menyanyikan lagu sebentar saja udah langsung dapet uang..” Saya mempertanyakan
sikap pak sopir itu.
“bagi saya, orang seperti dia dan
teman-temannya (yang sejenisnya) itu, orang yang paling sengasara didunia”
jelas pak sopir.
“kok bisa pak?”
“lha gimana tidak? Mereka itu,
laki-laki bukan, perempuan juga bukan. Tidak bisa menikmati hidup. Mereka
mendekati laki-laki, merayu-rayu, tapi yang didekati malah merasa jijik.
Mendekati wanita, yang didekati malah risih. Terus mau gimana lagi.”
Saya kembali
diam. Iya ya. Kasihan juga. Bagimana dengan keluarga yang mereka tinggalkan.
Mungkinkah kedua orang tua si “banci” tahu kalau dia berubaah menjadi seperti
ini? Apakah dia tidak ingin menjalin hubungan normal sebagai manusia tulen
dengan lawan jenisnya dan membangun rumah tangga? Sayangnya saya bukan orang
yang bisa masuk kedalam pikirannya. Pengetahuan saya juga tidak banyak tentang
mereka. Apapun yang terjadi pada diri mereka, entah karena merasa dia telah
menemukan dirinya yang sejatinya adalah seperti itu atau karena ada hal lain
yang memaksanya untuk menjadi seperti itu pastilah ada alasan yang kuat.
Sekalipun saya juga tahu di Jogjakarta ada kompleks perkampungan/kelompok
banci/waria yang sudah diakui. Mungkin itu cukup membantu (bagi mereka). Semoga
cahaya bisa segera menerobos masuk kedalam hatinya dan mereka-mereka. (aamiin)
Hingga saya
kembali tersadar bahwa kini traffic light
sudah berubah menjadi hijau.