Senin, 05 Maret 2012

Mengambil Ilmu


Awan gelap menggatung pada langit sore ini. Dapat ditebak bahwa hujan sebentar lagi akan mengguyur kota Yogyakarta. Semangat tetap menyala menyusuri jalan-jalan kecil menuju batas akhir di ruang 405 fakultas Sains dan Teknologi. Kuliah kewirausahaan. Perkuliahan dimulai dengan  pembagian dua kelompok kanan dan kiri diikuti dengan instruksi yang pada mulanya membuat dahi saya berkerut. Ya, menggambar sapi dan jerapah. Setiap anggota harus menorehkan cukup satu garis saja di papan tulis yang pada akhirnya nanti harus membentuk objek sapi dan jerapah. Sambil mengikuti alur instruksi, pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam kepala saya belum juga menghilang. Mungkin tidak hanya saya saja yang memikirkannya. “sebenarnya apa hubungan antara menggambar sapi dan jerapah dengan urusan kewirausahaan?”. Setahap demi setahap, garis demi garis terhubung. Membentuk “lukisan” abstrak sapi dan jerapah. Prosesnya cukup membuat kelas ini riuh-rendah saling memberi komentar dan arahan, gelak tawa tak terhindarkan. Berusaha membentuk objek yang sempurna dari coretan-coretan tangan tak berseni.
Karena hasil akhir yang tak karuan, sapi menjadi kelici bahkan lebih mirip babi, dan jerapah berubah menjadi cacing berkaki polos,maka kesempatan kedua diberikan. Kali ini dalam setiap kelompok harus ada pemimpinnya. Saya berada di kubu kiri. Mayoritas P.fis ’10 dan Fisika ’08 dipimpin Andiya, sementara kubu kanan ada P.fis ’09 dan P.fis ‘08 dipimpin oleh Mabrur. Kali ini diizinkan membawa contekan, tapi maksimal 10 kali saja.
Persaingan sekali lagi terjadi, masing-masing kubu berusaha keras mengeluarkan jiwa seninya.  Setelah usai, masing-masing pemimpin kubu mempresentasikan hasil gambar yang ada dari timnya. Dari sini samar-samar saya mulai membaca keadaan bahwa apa yang sedang dilakukan teman-teman dalam kaitannya dengan jiwa wirausaha adalah tentang kerjasama, egoisme dan “branding”. Bagaimana suatu tim bekerja, bagaimana seorang wirausaha mempertahankan gagasannya dan bagaimana seorang wirausaha menciptakan karakter diri yang menarik sehingga berpengaruh pada apa yang dia sajikan. Namun saya belum menemukan titk terang lebih lanjut.
Instruksi selanjutnya adalah “Buatlah menara setinggi-tingginya dari benda-benda milik kalian sendiri!!” Tiba-tiba saja suasana kelas jadi ribut tak karuan. Dengan tim yang masing-masing terdiri dari tujuh orang berusaha memanfaatkan barang-barang yang ada menjadi menara. Dari kursi, payung, tas, buku, korek api, rokok, tongkat, dan bolpoin. Kali ini keadaan kelas berubah seperti kapal pecah. Dan saya baru menemukan suasana pembelajaran yang membuat kelas jadi begitu berantakan tak karuan (ini belajar atau menghancurkan kelas??). Tapi berantakannya kelas ini memiliki kekuatan yang luar biasa. Dari sekedar instruksi simpel jadi membuat kelas sebegitu hebohnya. Luar biasa sekali.  Kursi-kursi disusun tingkat tiga, ada yang terlipat tak karuan jadi seperti “menara kursi rusak” dan lebih kerennya mereka juluki “tower rangers”---towernya lelaki !!, ada yang jadi “menara penangkal petir” dari tumpukan kursi plus payung di ujungnya. Ada “menara buku” yang susunannya dari buku-buku kecil dan tingginya tak seberapa yang lebih menekankan pada manfaatnya (jika memang benar-benar diciptakan), ada “umbrella tower” sekedar untuk mengingatkan peran payung yang sangat krusial di musim hujan, ada menara “penangkap gelombang” yang lebih menunjukkan pada tingginya kreativitas, bukan tinggi dalam arti secara fisik. Kemudian setelah menara masing-masing selesai, ketua tim mempresentasikan hasil karyanya. Dan jika dinilai secara fisik, “tower rangers”---towernya lelaki, jadi juaranya. Karena memang tingginya hampir menyentuh langit-langit kelas.
Usai presentasi, kelas dikembalikan pada kondisi semula. Rapi dan tertata. Masing-masing dipersilahkan untuk menyanggah presentasi tim lain atau sekedar menegaskan keunggulan menara timnya sendiri. Instruksi berajalan. Terjadi bantai-membantai argumen. Lagi-lagi kelas menjadi heboh. Menara tim lain adalah buruk dan menara tim sendiri adalah yang paling unggul. Perdebatan yang cukup lama terpaksa di akhiri karena dipaksa oleh waktu yang sudah sore.
Dengan beberapa penjelasan, akhirnya saya dapat mengambil inti dari pembelajaran ini:
ÿ        Dalam berwirausaha tidak selalu menggunakan modal 100% berupa uang, akan tetapi bisa memanfaatkan kreativitas dan peluang yang ada.
ÿ        Ketika terjun dalam dunia wirausaha lakukanlah dengan sepenuh hati, keluarkan semua kemampuan yang ada. Jangan setengah hati.
ÿ        Bentuklah karakter diri yang unik dan menarik sehingga menjadi ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan orang lain dan mudah untuk diingat.
ÿ        Hal-hal sederhana yang terkadang sering dianggap remeh justru seringkali dapat diubah menjadi sesuatu yang hebat jika ditekuni secara mendalam. Sehingga dapat dimanfaatkan dalam berwirausaha.
ÿ        Ketika kita sudah memiliki suatu produk atau bentuk usaha sebagai pekerjaan kita, maka kita harus bisa menunjukkan bahwa apa yang menjadi milik kita memiliki kelebihan yang luar biasa, dan terkadang ke’aku’an itu perlu.
ÿ        Pandai dalam berkomunikasi sangat penting dalam berwirausaha, karena memang komunikasi merupakan salah satu kunci kesuksesan berwirausaha. Bagaimana agar orang lain tertarik dengan apa yang kita sampaikan, apa yang kita tawarkan. Sehingga apa yang menjadi maksud dari pembicaraan kita benar-benar dapat ditangkap oleh mereka. Tunjukkan dengan sikap dan kata-kata yang meyakinkan dalam apapun. Dan selalu semangat.
Ya, seperti inilah titik terang yang saya dapatkan. Semangat untuk petang yang dingin, sembari mendengarkan gemuruh guyuran hujan dari dalam kelas.

0 komentar:

Posting Komentar