Awan gelap menggatung pada
langit sore ini. Dapat ditebak bahwa hujan sebentar lagi akan mengguyur kota
Yogyakarta. Semangat tetap menyala menyusuri jalan-jalan kecil menuju batas
akhir di ruang 405 fakultas Sains dan Teknologi. Kuliah kewirausahaan. Perkuliahan
dimulai dengan pembagian dua kelompok
kanan dan kiri diikuti dengan instruksi yang pada mulanya membuat dahi saya
berkerut. Ya, menggambar sapi dan jerapah. Setiap anggota harus menorehkan cukup
satu garis saja di papan tulis yang pada akhirnya nanti harus membentuk objek
sapi dan jerapah. Sambil mengikuti alur instruksi, pertanyaan-pertanyaan
mendasar dalam kepala saya belum juga menghilang. Mungkin tidak hanya saya saja
yang memikirkannya. “sebenarnya apa hubungan antara menggambar sapi dan jerapah
dengan urusan kewirausahaan?”. Setahap demi setahap, garis demi garis
terhubung. Membentuk “lukisan” abstrak sapi dan jerapah. Prosesnya cukup
membuat kelas ini riuh-rendah saling memberi komentar dan arahan, gelak tawa
tak terhindarkan. Berusaha membentuk objek yang sempurna dari coretan-coretan
tangan tak berseni.
Karena hasil akhir yang tak karuan, sapi menjadi
kelici bahkan lebih mirip babi, dan jerapah berubah menjadi cacing berkaki polos,maka
kesempatan kedua diberikan. Kali ini dalam setiap kelompok harus ada pemimpinnya.
Saya berada di kubu kiri. Mayoritas P.fis ’10 dan Fisika ’08 dipimpin Andiya,
sementara kubu kanan ada P.fis ’09 dan P.fis ‘08 dipimpin oleh Mabrur. Kali ini
diizinkan membawa contekan, tapi maksimal 10 kali saja.
Persaingan sekali lagi terjadi, masing-masing kubu
berusaha keras mengeluarkan jiwa seninya.
Setelah usai, masing-masing pemimpin kubu mempresentasikan hasil gambar
yang ada dari timnya. Dari sini samar-samar saya mulai membaca keadaan bahwa
apa yang sedang dilakukan teman-teman dalam kaitannya dengan jiwa wirausaha adalah
tentang kerjasama, egoisme dan “branding”. Bagaimana suatu tim bekerja,
bagaimana seorang wirausaha mempertahankan gagasannya dan bagaimana seorang
wirausaha menciptakan karakter diri yang menarik sehingga berpengaruh pada apa
yang dia sajikan. Namun saya belum menemukan titk terang lebih lanjut.
Instruksi selanjutnya adalah “Buatlah menara
setinggi-tingginya dari benda-benda milik kalian sendiri!!” Tiba-tiba saja
suasana kelas jadi ribut tak karuan. Dengan tim yang masing-masing terdiri dari
tujuh orang berusaha memanfaatkan barang-barang yang ada menjadi menara. Dari
kursi, payung, tas, buku, korek api, rokok, tongkat, dan bolpoin. Kali ini
keadaan kelas berubah seperti kapal pecah. Dan saya baru menemukan suasana
pembelajaran yang membuat kelas jadi begitu berantakan tak karuan (ini belajar
atau menghancurkan kelas??). Tapi berantakannya kelas ini memiliki kekuatan
yang luar biasa. Dari sekedar instruksi simpel jadi membuat kelas sebegitu
hebohnya. Luar biasa sekali. Kursi-kursi
disusun tingkat tiga, ada yang terlipat tak karuan jadi seperti “menara kursi
rusak” dan lebih kerennya mereka juluki “tower rangers”---towernya lelaki !!,
ada yang jadi “menara penangkal petir” dari tumpukan kursi plus payung di
ujungnya. Ada “menara buku” yang susunannya dari buku-buku kecil dan tingginya
tak seberapa yang lebih menekankan pada manfaatnya (jika memang benar-benar
diciptakan), ada “umbrella tower” sekedar untuk mengingatkan peran payung yang
sangat krusial di musim hujan, ada menara “penangkap gelombang” yang lebih menunjukkan
pada tingginya kreativitas, bukan tinggi dalam arti secara fisik. Kemudian
setelah menara masing-masing selesai, ketua tim mempresentasikan hasil
karyanya. Dan jika dinilai secara fisik, “tower rangers”---towernya lelaki,
jadi juaranya. Karena memang tingginya hampir menyentuh langit-langit kelas.
Usai presentasi, kelas dikembalikan pada kondisi
semula. Rapi dan tertata. Masing-masing dipersilahkan untuk menyanggah
presentasi tim lain atau sekedar menegaskan keunggulan menara timnya sendiri.
Instruksi berajalan. Terjadi bantai-membantai argumen. Lagi-lagi kelas menjadi
heboh. Menara tim lain adalah buruk dan menara tim sendiri adalah yang paling
unggul. Perdebatan yang cukup lama terpaksa di akhiri karena dipaksa oleh waktu
yang sudah sore.
Dengan beberapa penjelasan, akhirnya saya dapat mengambil
inti dari pembelajaran ini:
ÿ
Dalam berwirausaha tidak selalu menggunakan modal 100%
berupa uang, akan tetapi bisa memanfaatkan kreativitas dan peluang yang ada.
ÿ
Ketika terjun dalam dunia wirausaha lakukanlah dengan
sepenuh hati, keluarkan semua kemampuan yang ada. Jangan setengah hati.
ÿ
Bentuklah karakter diri yang unik dan menarik sehingga
menjadi ciri khas sehingga dapat dibedakan dengan orang lain dan mudah untuk
diingat.
ÿ
Hal-hal sederhana yang terkadang sering dianggap remeh
justru seringkali dapat diubah menjadi sesuatu yang hebat jika ditekuni secara
mendalam. Sehingga dapat dimanfaatkan dalam berwirausaha.
ÿ
Ketika kita sudah memiliki suatu produk atau bentuk
usaha sebagai pekerjaan kita, maka kita harus bisa menunjukkan bahwa apa yang
menjadi milik kita memiliki kelebihan yang luar biasa, dan terkadang ke’aku’an
itu perlu.
ÿ
Pandai dalam berkomunikasi sangat penting dalam
berwirausaha, karena memang komunikasi merupakan salah satu kunci kesuksesan
berwirausaha. Bagaimana agar orang lain tertarik dengan apa yang kita
sampaikan, apa yang kita tawarkan. Sehingga apa yang menjadi maksud dari
pembicaraan kita benar-benar dapat ditangkap oleh mereka. Tunjukkan dengan
sikap dan kata-kata yang meyakinkan dalam apapun. Dan selalu semangat.
Ya, seperti inilah titik terang yang saya dapatkan.
Semangat untuk petang yang dingin, sembari mendengarkan gemuruh guyuran hujan
dari dalam kelas.
0 komentar:
Posting Komentar